Cerita Misteri
Pertemuan di Lain Zaman
Posted by M. Fajar JunariyataHujan masih turun rintik-rintik ketika mobil Avanza silverku mulai menyusuri jalan kecil agak berliku. Dengan agak hati-hati aku mengemudi, karena hujan seharian membuat jalanan agak sedikit licin. Aku, istriku dan ketiga anakku: Vidya, Visya dan Dara sore itu memang sengaja hendak menuju sebuah rumah diperbukitan di desa Pangradin Kecamatan Jasinga wilayah Bogor barat. Setelah beberapa kali bertanya, akhirnya kami memasuki jalan kecil yang agak berliku tersebut. Selain agak berliku-liku, jalanan juga kadang naik kadang turun mengikuti kontur pegunungan tempat alamat sebuah rumah yang akan kami lihat sesuai dengan alamat yang tertera di sebuah iklan di internet. Memang, sebelumnya kami, aku dan istriku, sudah berunding hendak mencari sebuah rumah kecil yang asri dan damai dengan tanah yang agak luas di pinggiran kota, sebagai persiapan jika rumah kami yang sekarang kami tempatai di daerah sentul bogor pada akhirnya nanti harus kami lepaskan kepada perusahaan pengembang. Setelah melakukan perundingan dengan berbagai pertimbangan, maka kami sepakat bahwa kami akan mencari sebuah rumah yang nyaman di daerah yang sepi dengan tanah yang luas, sehingga kami dapat menghabiskan hari-hari tua kami nanti di tempat yang tenteram dan damai. Maka bebrapa hari ini kami rajin melihat-lihat iklan rumah dan tanah yang sesuai dengan rencana kami, sehingga pada akhirnya kami menemukan sebuah iklan tentang sebuah rumah di Bukit Kaso Desa Pangradin dengan spesifikasi yang kami inginkan. Setelah beberapa kali berkomunikasi telephone dengan pemiliknya, akhirnya kami sepakat hari ini kami akan meninjau rumah tersebut.
Setelah menempuh perjalanan sepanjang kurang lebih 4-5 km, akhirnya kami sampai di tempat tujuan. Sayup-sayup kudengar suara adzan, berarti kami telah menempuh perjalanan kurang lebih selama tiga setengah jam. Karena seingatku, kami berangkat dari Sentul tadi jam menunjukkan pukul setengah tiga, dan sekarang sudah terdengar adzan maghrib.
Setelah kuhentikan mobilku di halaman yang cukup luas, aku lihat istri dan anak-anakku, semua hanya diam membisu melihat rumah dan lingkungan sekitarnya. Rumah tersebut kelihatan mungil di tengah kebun yang sangat luas. Di kiri kanan rumah banyak pepohonan buah-buahan seperti rambutan, durian, kecapi, pisang dan sebagainya, sehingga terkesan rimbun. Sepi tidak terlihat ada tanda-tanda kegiatan sama sekali, menjadikan aku ragu-ragu untuk turun daeri mobil. Aku meminta pertimbangan dari istriku: “Bagaimana, bu? Kelihatannya seperti rumah kosong tidak ada penghuninya, apakah kita turun atau mau pulang saja?”
“Jauh-jauh sudah sampai di sini, kalau pulang percuma, dong. Apa nggak sebaiknya kita turun dulu, siapa tahu orangnya ada di dalam. Apalagi sekarang sudah maghrib, apa nggak sebaiknya kita numpang sholat dulu?”.
Akhirnya walaupun agak ragu, aku pun turun dari mobil diikuti oleh istri dan anak-anakku. Mobil sengaja tidak aku matikan mesinnya dan kuhidupkan lampu besar, untuk menerangi halaman yang sudah mulai gelap. Dengan memberanikan diri, aku menuju pintu rumah tersebut. Sesampinya di depan pintu, aku mengucapkan salam dan mengetuk pintu beberapa kali. Tidak ada jawaban sama sekali, kuintip dari celah jendela, di dalam gelap dan sepi. Penasaran, kuterikkan salam dan kuketuk beberapa kali daun opintu yang tertutup rapat itu. Tak disangka ternyata ada jawaban salam dari dalam rumah, dan kudengar langkah seseorang menuju pintu. Tak lama kemudian, kudengar suara kunci pintu diputar dan pintu dibuka. Seorang wanita paruh baya, kulihat berdiri memegang lampu teplok minyak tanah membukakan pintu. Namun ada sesuatu yang mengejutkan kami, tatkala wanita tersebut dengan muka pucat pasi dan muka menganga seperti melihat hantu kepada kami berlima dan beberapa kali melihat mobil kami yang terparkir di halaman. Tiba-tiba wanita paruh baya itu kembali menutup pintunya dengan agak keras dan lari terbirit-birit kembali ke dalam rumah meninggalkan kami yang terbengong-bengong, tak tahu apa yang terjadi. Setelah beberapa saat, kami saling berpandangan anatar aku, istriku dan ketiga anakku. Aku memberanikan diri untuk mendorong daun pintu sambil setengah berteriak: “Maaf ada apa, bu?”
Tidak ada sahutan sama sekali dari dalam. Rumah kembali sepi seperti ketika kami datang tadi. Hujan turun makin deras diiringi suara petir dan halilintar yang sesekali terdengar.
“Bagaimana bu, kelihatannya ada masalah dengan si empunya rumah. Apakah kita pulang saja?”, tanyaku kepada istriku.
“Tapi hujan makin deras pak, apa tidak sebaiknya Bapak, hubungi pemasang iklannya dulu?”, kata istriku.
“Baiklah”, kataku sambil meengeluarkan HP Nokiaku. Lalu kucoba untuk menghubungi Surya, si pemasang iklannya.
“Hallo, mas Surya, assalamu’alaikum…”, aku membuka percakapan.
“Ya hallo…. Wa’alaikum salaam”, jawab surya.
“Mas Surya, saya sudah di rumah yang mas Surya iklankan. Posisimas Surya, dimana?”, tanyaku.
“Oh ya pak, sebentar lagi saya sampai ke lokasi. Maaf tadi ada kendala ban motor saya bocor, jadi harus menambalkan dulu. Mohon tunggu sebentar, ya pak!”
“Ok mas Surya, saya harap tidak terlalu lama mas Surya segera sampai ke sini”, jawabku, kemudian kututup HPku.
Aku, istriku dan anak-anakku kemudian duduk di bangku panjang dari kayu yang ada di pojok teras. Kami duduk agak berhimpitan, selain memang bangkunya agak sempit untuk kami duduki berlima, namun juga dengan berhimpitan, bisa sedikit mengurangi rasa dingin yang mendera tubuh kami. Beberapa menit kemudian kami mendengar suara motor dengan gas yang agak tinggi, lalu kulihat sorot lampu motor mulai memasuki halaman. Setelah memarkirkan motor di dekat mobil Avanzaku, kulihat seseorang dengan perawakan sedang dan memakai jas hujan berlari-lari ke arah teras tempat kami duduk menunggu.
“Maaf pak, kuharap Bapak sudi memaafkan saya karena datang terlambat dan lama menunggu”. Katanya sambil menyalami aku, istriku dan anak-anakku bergantian.
“Tidak apa-apa mas Surya, kami belum lama kok. Tadi ada ibu-ibu yang membukakan pintu, tapi anehnya beliau kok malah seperti orang ketakutan kembali masuk ke rumah dan tidak keluar lagi. Apakah ibu itu takut pada kami? Maklum mas Surya, jaman sekarang memang banyak orang jahat, sehingga tidak salah jika ada yang dating malam-malam seperti ini menimbulkan kecurigaan dan ketakutan. Ngomong-ngomong sipa ibu tadi? Apakah itu Ibu mas Surya atau yang menjaga rumah ini?” tanyaku.
“Ibu-ibu? Saya rasa tidak ada orang di rumah ini, pak. Rumah ini sudah lama tidak ada yang menempati, sejak puluhan tahun yang lalu. Sesekali saya dan saudara-saudara saya ke sini pada hari libur. Ya biasanya setiap sabtu atau minggu atau hari libur pasti kami ada yang ke sini, sekedar beristirahat dan membersihkan rumah ini”. Jawabnya dengan nada agak heran.
“Tapi tadi kami dibukakan oleh seorang wanita paruh baya, beliau mengenakan kain kebaya dan memegang lampu teplok, mas Surya. Kalau betul tidak ada yang menghuni, lalu siapa beliau?” tanyaku.
“Baiklah pak, sebaiknya mari kita lihat siapa yang di dalam, memeang kadang-kadang ada tetangga kampong yang mampir ke rumah ini untuk sekedar beristirahat siang setelah bekerja di lading tak jauh dari sini. Maklum rumah penduduk agak jauh dari sini, sekitar lima ratusan meter”. Jawabnya sambil melangkah ke depan pintu rumah. Aku mengikunya dari belakang dan dibelakangku istri dan anak-anaku mengikutiku.
Mas Surya segera membuka pintu dengan kuncinya. Aneh, rasanya tadi pintu itu telah dibuka oleh ibu tadi dan tidak dikunci lagi sehingga aku bisa mendorongnya terbuka. Tapi sekarang kulihat jelas bahwa mas Surya perlu kunci untuk membukanya kembali.
Sesampainya di dalam, mas Surya segera memencet tombol saklar untuk menyalakan listriknya. Setelah listrik menyala, barulah jelas semua perabotan yang ada di dalam rumah tersebut. Rumah tersebut ternyata sebuah rumah mungil model kuno dengan perabotan yang juga terbilang kuno. Satu set meja dan kayu kuno sederhana kulihat menghiasi lantai ruang tamu. Dipojok ruangan kulihat sebuah televise ukuran 29 inch. Dan di dinding kulihat sebuah lukisan photo yang cukup besar menggambarkan dua orng suami istri dengan pakaian adat sunda. Yang lelaki memakai baju sunda dan yang wanita paruh baya menggunakan kebaya. Lama aku memandangi lukisan tersebut sementara mas Surya, masuk ke dalam ruangan lain meninggalkan kami di ruang tamu, setelah memepersilakanku duduk. Aku duduk persis menghadap lukisan, sementara istri dan anak-anakku duduk membelakangi lukisan tersebut. Tanpa sengaja aku memandangi lagi lukisan tersebut. Kulihat lebih teliti, dalam lukisan tersebut ada nama pelukisnya S.Tono dan tanggal kapan lukisan tersebut dibuat , yaitu 22 Maret 1678. Wow… lukisan tersebut berarti sudah berumur sangat lama. Apakah itu lukisan kakek dan nenek mas Surya? Kembali aku melihat lukisan photo wanitanya. Kupikir-pikir aku sudah pernah melihat orang yang ada dalam lukisan tersebut. Tapi siapa, ya? Dan setelah kuingat-ingat, ternyata lukisan tersebut sangat mirip dengan wanita paruh baya yang tadi membukakan pintu. Belum sempat aku berpikir lebih jauh, mas Surya sudah memasuki ruangan kembali sambil membawa baki dan minuman botol.
“ Minum dulu, pak. Maaf tidak ada air hangat. Maklum rumah ini hanya dihuni kalau hari libur saja, jadi yang ada hanya minuman botol”.
“Terima kasih, mas Surya. Ngomong-ngomong kalau boleh kami menumpang sholat maghrib di sini apakah bisa?” tanyaku.
“Boleh pak, mari wudhlunya di kamar mandi di sebelah sana, sedangkan mushola di sebelah sana”, katanya sambil menunjukkan arah kamar mandi dan mushola. Aku istriku dan anak-anakku segera bergegas untuk mengambil air wudhlu dan menunaikan sholat maghrib, khawatir sebentar lagi waktu sholat maghrib berlalu.
Selesai sholat maghrib, kembali kami berbincang-bincang dengan mas Surya di ruang tamu. Dalam perbincangan kami focus pada rumah yang ditawarkan dan harganya, sehingga kami lupa tentang siapa wanita paruh baya yang membuka pintu tadi, sampai suatu ketika kembali tanpa sengaja aku menengok ke atas dan melihat lukisan yang menempel di dinding tersebut. Deg… aku teringat dengan wanita paruh baya yang membukakan pintu tadi. kemudian aku menanyakan kepada mas Surya tentang lukisan tersebut.
“Itu lukisan Eyang buyut kami. Beliau dulu tinggal di sini sampai akhirnya terjadi sesuatu yang membuat eyang buyut kami akhirnya pindah ke Bogor, dan rumah ini akhirnya hanya menjadi villa saja yang ditinggali oleh anak-cucunya sewaktu hari libur”.
“Maaf, mas Surya, kira-kira apa yang membuat eyang buyut mas Surya akhirnya memutuskan untuk meninggalkan rumah ini?”, tanyaku menyelidik.
“Begini ceritanya. Cerita ini turun temurun dari nini buyut kami, kepada kakek kami, lalu diceritakan kembali kepada kami. Waktu itu ketika maghrib, nini buyut kami kedatangan tamu lima orang, satu orang lelaki, dan empat orang perempuan. Kebetulan nini buyut kami sedang tinggal sendirian di rumah karena kakek buyut kami sedang ada keperluan di kota. Ketika nini buyut kami membukakan pintu, nini buyut kami sangat terkejut dan ketakutan, karena tamu tersebut memakai pakaian yang tidak seperti pakaian pada umumnya saat itu. Yang lelaki menggunakan pakaian seperti orang belanda yakni, celana panjang dan kemeja. Sedangkan wanitanya memakai penutup kepala tetapi bukan kerudung dan tidak berkebaya, tetapi bercelana selayaknya pria. Yang pria memegang benda kecil segi empat dan bercahaya. Pria tersebut bisa berkomunikasi dengan orang lain dengan menggunakan benda itu. Yang lebih mengherankan lagi, mereka menggunakan kereta tanpa kuda dengan cahaya yang menyilaukan mata. Kereta itu tidak seperti kereta pada umunya, berwarna keperakan dan memantulkan cahaya. Suaranya bergemuruh dan mengeluarkan asap. Setelah kejadian itu nini buyut kami sangat ketakutan dan tidak mau tinggal di sini lagi. Jadi terpaksa kakek buyut membeli rumah lagi di bogor, sebagai tempat tinggal. Sedangkan rumah ini hanya dijadikan villa saja, yang dipakai untuk istirahat di hari libur. Namun nini buyut kami sama sekali tidak mau kembali ke rumah ini. Dulu ada penjaganya, namanya pak Deden, tapi beliau sudah meninggal. Kemudian anaknya Maman yang meneruskan menjaga rumah ini, sampai beliau meninggal dunia juga. Nah setelah itu tidak ada lagi yang menjaganya, karena anak-anak Pak maman kerja di Kota. Demikian cerita tentang rumah ini. Namun selama ini kami tidak pernah mengalami sesuatu hal yang aneh di rumah ini sampai saat ini, dan baru tadi saya mendengar cerita Bapak yang membuat saya heran, ada yang membukakan pintu, padahal tadi saya cek tidak ada satu pun orang di rumah ini kecuali kita. Dan bapak tadi lihat sendiri saya harus pakai kunci untuk membuka pintunya. Kalau tidak keberatan, bisakah diceritakan cirri-ciri wanita yang membukakan pintu Bapak tadi?”
Aku, istriku dan anak-anakku saling berpandangan, kembali kulihat lukisan di dinding itu. Wanita paruh baya yang membukakan pintu tadi sangat mirip dengan lukisan itu. Apakah berarti yang membukakan pintu tadi nini Buyut mas Surya? Kalau begitu yang dilihat oleh nini buyut mas Surya itu adalah kami? Bukankah waktu wanita tersebut membukakan pintu aku sedang memegang HP? Dan wanita itu melihat mobil Avanzaku yang kuparkir di halaman dengan lampu menyala? Jadi kami sudah bertemu dengan nini buyut mas Surya yang hidup ratusan tahun yang lalu? Aku tidak habis piker, kenapa kejadian itu bisa terjadi? Sampai aku pulang kembali ke Sentul pikiran itu masih menghantuiku, bahkan sampai kini misteri itu belum bisa aku pecahkan. Bagaimana orang yang hidup di lain zaman bisa ketemu?